Hari Sabtu (3/10) ini sepanjang siang hingga menjelang malam, pendopo bumi perkemahan Babarsari dijadikan tempat dihelatnya acara syawalan (or something like that) Banteng Muda Indonesia (BMI). Mungkin lingkupnya se Jogja karena sempat dengar tadi disebut Bpk. X, DPD Kulonprogo… Bpk. Y, DPD Bantul, dsb. Acaranya entahlah ada apa saja, tapi yang bisa kusebutkan secara pasti adalah campursari, kalo didenger-dengerin sih pake organ tunggal. Pagelaran musik ini terdengar jelas dari rumahku yang jaraknya hanya sekitar 20 meter dari lokasi.
Acara-acara semacam ini memang sudah biasa diadakan di pendopo yang kumaksud. Yang tidak biasa adalah, di saat adzan magrib menggema di seluruh penjuru Babarsari, si campursari seakan tak mau kalah bergema. Jangankan rehat, volume suara bahkan tak mengalami penurunan sedikit pun. Baru sekitar 20menitan kemudian acara diakhiri dengan lagu sayonara ala organ tunggal yang (masih tetap) membahana di langit senja. Rasanya aku sampai tak bisa mendengar suara adzan. Bagaimana bisa menang, adzan magrib pake toa dibandingin sama campur sari yang sound-nya berwatt-watt…
Aku sebenarnya tak terlalu mempermasalahkan adzan maghrib yang tak kudengar. Yang penting aku tahu kalau ternyata sudah masuk waktu sholat. Yang jadi pertanyaanku adalah: bagaimana bisa BMI melakukan hal seperti ini?
BMI adalah salah satu underbouw-nya PDI Perjuangan, organisasi kemasyarakatan yang ada di bawah salah satu partai raksasa negeri ini. Menurut Dudhie Makmun Murod, Ketua DPP PDIP bidang Keormasan, BMI adalah tempat pendidikan kader bangsa. Di BMI para pemuda ditempa untuk mampu menjadi pemimpin sekaligus siap dipimpin (sumber: http://www.pdi-perjuangan.or.id/index.php?option=com_content&task=emailform&id=934 )
Tapi melihat sikap BMI seperti yang aku ceritakan barusan, aku jadi sangsi, apa para kader ini memang sudah mendapatkan pendidikan yang tepat? Kalau aku tak salah tangkap, anggota BMI nantinya dijadikan kader partai, yang ujungnya diusung untuk jadi politisi atau wakil rakyat (mohon dikoreksi kalau aku salah persepsi). Bukankah kita membutuhkan orang-orang yang peka untuk menempati jabatan seperti itu? Peka terhadap lingkungan, peka terhadap masyarakat, peka terhadap fenomena sosial. Kupikir meneruskan acara gedobrakan di tengah adzan maghrib tidak menunjukkan kepekaan sama sekali.
Silakan itu dilakukan kalau BMI menghelat syawalan di tengah hutan Kalimantan. Tapi ini diadakan di tengah perkampungan. Aku berani bertaruh nama BMI pasti tercoreng seketika di kalangan penduduk sekitaran bumi perkemahan. Orang-orang tentu bertanya-tanya, “magrib-magrib kok iseh rame wae nyetel lagu banter-banter, sopo to kui?” “BMI-ne PDI Perjuangan, mbah”… see?
Bagiku, hal ini menunjukkan kalau orang-orang yang hadir di acara tadi tak punya kepekaan terhadap lingkungan. Semua orang pasti tahu kalau sudah mulai masuk waktu maghrib. Itulah gunanya arloji, dude… Dan matahari pun terbenam, lighting meredup drastis semacam itu cuma terjadi di kala magrib setahuku. Kalaupun di ruangan itu tak ada yang berkepentingan dengan waktu sholat magrib, sadarlah kalau penduduk setempat pasti ada yang berkepentingan. Perkampungan seramai ini tak mungkin hanya dihuni oleh masyarakat homogen, toh?
Mungkin hal-hal semacam ini bisa dibilang sangat sederhana. Sepele. Gak penting. Tapi di mataku, yang ecek-ecek ini justru memegang peranan besar. Teringat analogi golongan darah dalam kuliah Opini Publik, hanya butuh setetes darah untuk mengetahui apa golongan darah yang mengalir di seluruh tubuh. Jangan-jangan contoh kecil ini merepresentasikan sifat asli BMI seluruhnya? Tak peka? Just guessing…
Dan satu lagi, ketidakpekaan tersebut sama sekali bukan cara untuk membentuk citra yang baik. Hal ini sudah terjadi padaku yang sukses menorehkan cap “kurang beradab” pada BMI gara-gara hal kecil tadi. Bayangkan saja kalau di sekitar Babarsari ada seratus ribu orang (seperti) aku. Bukankah dunia politik menganggap citra sebagai Tuhan? Mati sajalah kalau tak bisa membentuk citra baik di masyarakat, bagaimana mungkin bisa dapat dukungan?
Leave a comment