Jam sepuluh malam. Suara-suara itu terdengar lagi. Awalnya bapak marah-marah lantaran emak yang kecapekan kerja seharian menolak permintaan bapak untuk melayaninya melakukan ”itu”. Lalu setelah itu terdengar teriakan emak yang ditampar bapak. Diikuti dengan suara pintu yang dibanting, dan suara motor pitung bapak di starter. Setelah segala hiruk-pikuk tersebut terjadi, yang tersisa hanyalah suara emak menangis di kamar tidurnya. Selalu begitu. Dan ketika suara tangis emak telah berganti dengan sesenggukan, baru aku berani masuk ke kamarnya.
”Mak…” aku buka pintu kamar emak sedikit. Kalau emak diam saja berarti dia tidak keberatan aku menemuinya. Emak menoleh dan memandangku lama dengan kedua matanya yang sembab dan berkantung. Aku menghampiri emak dan emak pun mendekapku dalam pelukannya sambil berulang kali menciumi kepalaku. Bisa kurasakan hangatnya air mata emak yang menetesi rambutku. Tak ada satu patah kata pun terucap dari mulut kami berdua. Tak perlu ada kata-kata untuk menghibur emak, pikirku. Dan tak perlu kata-kata untuk memastikan keadaan emak baik-baik saja, kira-kira begitu pikir emak. Tentu keadaan emak tidak baik-baik saja. Tak hanya emak, aku juga tidak baik-baik saja. Jadi yang kami lakukan hanyalah berdekapan dalam kebisuan, sibuk dengan pikiran masing-masing sampai akhirnya tertidur.
Itulah masa-masa paling membahagiakan dalam hari-hariku. Bagian aku tertidur di dalam dekapan emak, karena aku benar-benar merasa aman di sana. Tak ada suara amarah bapak, tak ada tamparan bapak, tak ada ancaman bapak. Tak ada bapak.
**
”Sih… Asih… bangun, Nduk… Ayo, sekolah sana,” Pagi lagi. Berat rasanya membuka mata dan beranjak dari kasur emak yang kapuknya sudah jadi padat itu.
”Emak sudah mau berangkat lagi?” kulihat emak sudah berpakaian rapi dan sedang membuat cepol pada rambutnya.
”Iya, Sih. Sekarang kan akhir minggu, jadi banyak tamu. Mungkin emak juga pulangnya agak malem, kamu jangan lupa masak telur buat sarapan Bapak, ya,”
”Tapi kok sepagi ini to, Mak? Apa ya tamu-tamu itu bangun tidur langsung minta dipijet,”
”Ya enggak, tapi Emak mesti bantu Cih Imah bikin sarapan buat mereka. Lik Wahyu anaknya lagi sakit, jadi dia balik Purworejo. Dah sana, kamu mandi, ndak keburu telat lho sekolahnya,” dengan nyawa yang seadanya aku pun menuju kamar mandi, menghabiskan lima belas menit di sana ketika aku dengar emak berteriak pamit untuk pergi bekerja. Emak bekerja sebagai tukang pijat di sebuah penginapan kelas bawah milik sepasang Tionghoa yang salah satunya disebut emak tadi. Penginapan Cih Imah menjadi tempat bermalam yang paling dicari oleh turis berduit cekak baik lokal maupun mancanegara, terlebih lagi di akhir pekan seperti ini. Letaknya yang dekat dengan pantai dan pasar seni membuat penginapan tak pernah sepi pengunjung dan setelah para turis tersebut lelah seharian berjalan-jalan, emaklah orang yang paling mereka cari.
Aku baru saja selesai mengancingkan seragam ketika di luar terdengar suara motor tua bapak. Aku langsung berhenti bergerak, takut bapak tahu di mana aku berada. Inilah masa-masa paling aku benci, ketika aku harus bertemu dengan bapak tanpa ada emak di rumah.
”Wartiiii… Wartiii!!! Punya istri kok kaya gini… bukannya enak malah cuman nambah-nambahi tanggungan saja! Wartiii!!!” bapak membuka dan membanting pintu-pintu dengan kasar, mencari-cari emak yang tentu saja tak akan ia temui. Umpatannya tak berhenti dan terdengar semakin keras saja dari kamar mandi tempatku berada. Bapak orangnya kasar. Dia bukan bapak kandungku. Tiga tahun yang lalu emak meninggalkan bapak kandungku demi menikah dengan bapakku yang sekarang, yang katanya sangat mencintai emak. Aku diajaknya ikut serta karena jika tidak begitu, aku tidak mungkin dapat meneruskan sekolah lantaran bapak kandungku sakit-sakitan dan tidak punya pekerjaan. Tapi siapa sangka, setelah pindah ke kota dan nama kami berdua telanjur dihapus dari silsilah keluarga, barulah ketahuan kalau pekerjaan sebagai distributor logistik yang selama ini bapak baruku maksudkan adalah bekerja sebagai supir truk beras.
”Wartiiii!!!” sekarang suara bapak sudah tepat di depan pintu kamar mandi.
Dok… dok… dok… ia pun menggedor pintu kamar mandi. Badanku gemetaran. Di luar bapak berhenti berteriak-teriak, lalu suaranya berubah lembut.
”Asih… ini kamu yang di dalem?” aku menarik nafas panjang sebelum menjawab.
”I… iya, Pak,” jawabku pelan.
”Emak kamu mana?”
”Sudah berangkat, Pak,”
”Cepet keluar, buatin Bapak sarapan!” tak ada pilihan lain selain mengikuti perintah bapak karena jika tidak, ia akan marah dan menjebol pintu kamar mandi seperti dulu. Aku pun membuka pintu kamar mandi. Bapak tak lagi berdiri di sana. Ia sudah beranjak ke ruang depan yang pintunya tertutup rapat. Merebahkan diri di kursi kayu panjang sambil memutar-mutar tombol radio yang ia letakkan di atas perut buncit berbalutkan kaos singlet bututnya, mencari siaran yang pas dengan suasana hatinya.
Tak mau buang-buang waktu, aku segera membuatkan dadar telur untuk bapak. Aku tak peduli dengan baju seragam putih abu-abuku yang terkena cipratan minyak dan berbau asap gorengan telur, yang penting cepat buatkan sarapan dan keluar dari rumah. Lima menit kemudian, sepiring telur dadar dan nasi di piring yang lain sudah ada di tanganku dan segera kubawakan ke ruang depan tempat bapak berada.
”Sarapannya, Pak,” Bapak pun bangkit dari rebahannya, meletakkan radio yang mulai memutar intro lagu Sewu Kutho Didi Kempot di sampingnya, sambil memperhatikan aku meletakkan piring di meja kayu bertaplak di hadapannya.
”Sini, sarapan sama Bapak,” Bapak menepuk kursi kayu yang ia duduki, memberi isyarat agar aku duduk di sampingnya.
”Ndak usah, Pak, Asih sudah terlambat ke sekolah,”
”Asih, sini duduk sebelah Bapak!”
”Tapi, Pak…”
”Kamu ndak denger, ya, Bapak bilang apa?” lagi-lagi aku tak punya pilihan. Aku pun duduk di samping bapak. Bukannya segera menyantap makanannya, bapak malah memandangiku. Matanya menyapu tubuhku dari atas ke bawah, sambil sesekali berhenti pada bagian tertentu. Aku mulai merasa risih, tidak nyaman dengan sikap bapak. Takut. Aku tak berani mengangkat wajah, apalagi membalas tatapan mata bapak.
”A… Asih mesti berangkat sekolah sekarang, Pak,”
”Endak, hari ini kamu nggak usah sekolah. Kamu temenin Bapak di rumah,” Deg… aku langsung merasa kalau ”itu” akan terjadi lagi. Bapak menggeser duduknya ke dekatku dan mulai memegang tanganku. Aku langsung menarik tanganku dan bangkit dari tempat duduk, namun bapak malah meraih pinggangku sehingga akupun kehilangan keseimbangan, jatuh ke arahnya.
”Endak, Pak, Asih mau sekolah,” Bapak tak mengiraukanku. Ia malah mulai menciumiku. ”Jangan, Pak, jangan…” aku pun meronta tapi sekali lagi bapak menarikku ke pelukannya. ”Pak, jangan!!!” aku berteriak. Kakiku menendang-nendang, mengenai meja kayu dan membuatnya menumpahkan semua benda yang diletakkan di atasnya. Termasuk sarapan bapak.
”Diam kamu! Sekali lagi kamu teriak, nanti emak kamu yang kena batunya!”
”Pak, jangan… Asih mau sekolah…” aku menangis tapi bapak sama sekali tak peduli.
”Ssshhh… Kamu mau, liat emak kamu itu kena pukul pentungan lagi?” bapak mengingatkanku pada suatu masa di mana aku melawan bapak ketika bapak akan melakukan ”itu” kepadaku. Malamnya, pulang dari bekerja, emak yang tidak tahu apa-apa langsung dipukuli bapak habis-habisan pakai pentungan kayu. Emak sampai tak bisa bangun dari tempat tidur selama dua hari sesudahnya.
”Jangan, jangan Emak…” aku sayang sama emak.
”Makanya… kamu nurut saja sama Bapak,” Bapak tidak berhenti menggerayangi tubuhku.
”Enggg…. Pak, Jangan…” Aku mengerang.
”Sssshhh… kamu, nggak usah sok suci, Asih… ini kan bukan pertama kalinya… kamu pikir Bapak jahat? Kamu pikir Emak kamu itu nggak jahat, apa? Kamu pikir Emak kamu itu cuma mijitin orang? Terus langsung pulang dan nggak ngapa-ngapain sama pasiennya?” Bapak berbisik di telingaku. ”Bapak ini udah baik, mau nerima kamu sama Emak kamu di sini, bayar sekolah kamu, kasih makan kamu sama emak kamu… Ndak salah to, kalo Bapak minta sesuatu dari kamu buat balesan?”
Setelah itu bapak tidak berkata apa-apa lagi, berkonsentrasi penuh pada apa yang sedang ia kerjakan. Aku cuma bisa sesenggukan kesakitan dan menerima saja perlakuan bapak. Membiarkan bapak memuaskan nafsu bejatnya di tengah alunan lagu Sewu Kutho yang tidak kunjung berakhir.
**
”Asih, Emak berangkat dulu, ya!”
Setelah menghabiskan lima belas menit di dalam kamar mandi, aku mendengar emak berteriak pamit untuk pergi bekerja.
”Iya, Mak…”
Sudah satu bulan berlalu semenjak kejadian tersebut. Setelah bapak menyelesaikan ”itu”, ia pergi keluar dengan motor pitungnya lagi. Meninggalkan aku tertelungkup menangis dengan seragam sekolah yang berserakan di lantai, bercampur dengan nasi dan telur dadar yang terguling bersama meja kayu tempat mereka berada sebelumnya. Entah pergi ke mana, tapi yang jelas itu terakhir kalinya aku melihat bapak. Bapak tak pernah pulang lagi setelah hari itu.
Suatu kali aku tak sengaja mendengar percakapan emak dengan Lik Harto, kenek truk yang selama ini menjadi mitra kerja bapak. Kata Lik Harto, bapak tewas dipukuli orang sekampung di daerah pedalaman karena mencoba melarikan diri setelah menabrak seorang anak yang sedang berdiri di tepi jalan. Emak menangis hebat setelah mendengar berita tersebut, tapi tak sekali pun ia menceritakannya kepadaku. Emak tak tahu kalau sebenarnya aku sudah tahu. Dan aku pun tak pernah menanyakan di mana bapak berada, jadi emak tak perlu repot-repot mengarang cerita bohong untukku.
Dan sekarang, aku masih berdiri telanjang di dalam kamar mandi, tidak melakukan apa pun sejak lima belas menit yang lalu, kecuali menangis. Air mataku menetes di atas perutku yang terlihat semakin buncit saja. Aku tak berani mengatakannya pada emak, takut emak akan bertambah sedih. Aku tak tahu berapa lama aku sudah berbadan dua karena aku sendiri tak ingat sudah kali ke berapa aku telat datang bulan. Aku pun tak tahu ”itu” yang mana yang bapak lakukan, yang sampai membuahkan janin di perutku.
Beberapa hari ini, hanya itu yang aku lakukan di kamar mandi. Menangis sambil memegangi perut yang selalu terasa mual, lupa pada kewajiban mandi yang seharusnya kulakukan sebelum berangkat sekolah. Aku tak tahu harus bagaimana. Tapi setidaknya aku merasa lega karena masa-masa yang paling aku benci tak akan pernah terjadi lagi. Masa-masa di mana aku harus bertemu dengan bapak tanpa ada emak di rumah.
Del kok tak bikin excerpt ga bisa ya?
wah bagus ni del ceritanya.kirimin ke majalah ajah…!!
menyentuh banget……!