Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘cerpen tiada kalab’ Category

Benci Bapak

Jam sepuluh malam. Suara-suara itu terdengar lagi. Awalnya bapak marah-marah lantaran emak yang kecapekan kerja seharian menolak permintaan bapak untuk melayaninya melakukan ”itu”. Lalu setelah itu terdengar teriakan emak yang ditampar bapak. Diikuti dengan suara pintu yang dibanting, dan suara motor pitung bapak di starter. Setelah segala hiruk-pikuk tersebut terjadi, yang tersisa hanyalah suara emak menangis di kamar tidurnya. Selalu begitu. Dan ketika suara tangis emak telah berganti dengan sesenggukan, baru aku berani masuk ke kamarnya.

”Mak…” aku buka pintu kamar emak sedikit. Kalau emak diam saja berarti dia tidak keberatan aku menemuinya. Emak menoleh dan memandangku lama dengan kedua matanya yang sembab dan berkantung. Aku menghampiri emak dan emak pun mendekapku dalam pelukannya sambil berulang kali menciumi kepalaku. Bisa kurasakan hangatnya air mata emak yang menetesi rambutku. Tak ada satu patah kata pun terucap dari mulut kami berdua. Tak perlu ada kata-kata untuk menghibur emak, pikirku. Dan tak perlu kata-kata untuk memastikan keadaan emak baik-baik saja, kira-kira begitu pikir emak. Tentu keadaan emak tidak baik-baik saja. Tak hanya emak, aku juga tidak baik-baik saja. Jadi yang kami lakukan hanyalah berdekapan dalam kebisuan, sibuk dengan pikiran masing-masing sampai akhirnya tertidur.

Itulah masa-masa paling membahagiakan dalam hari-hariku. Bagian aku tertidur di dalam dekapan emak, karena aku benar-benar merasa aman di sana. Tak ada suara amarah bapak, tak ada tamparan bapak, tak ada ancaman bapak. Tak ada bapak.

**

”Sih… Asih… bangun, Nduk… Ayo, sekolah sana,” Pagi lagi. Berat rasanya membuka mata dan beranjak dari kasur emak yang kapuknya sudah jadi padat itu.

”Emak sudah mau berangkat lagi?” kulihat emak sudah berpakaian rapi dan sedang membuat cepol pada rambutnya.

”Iya, Sih. Sekarang kan akhir minggu, jadi banyak tamu. Mungkin emak juga pulangnya agak malem, kamu jangan lupa masak telur buat sarapan Bapak, ya,”

”Tapi kok sepagi ini to, Mak? Apa ya tamu-tamu itu bangun tidur langsung minta dipijet,”

”Ya enggak, tapi Emak mesti bantu Cih Imah bikin sarapan buat mereka. Lik Wahyu anaknya lagi sakit, jadi dia balik Purworejo. Dah sana, kamu mandi, ndak keburu telat lho sekolahnya,”  dengan nyawa yang seadanya aku pun menuju kamar mandi, menghabiskan lima belas menit di sana ketika aku dengar emak berteriak pamit untuk pergi bekerja. Emak bekerja sebagai tukang pijat di sebuah penginapan kelas bawah milik sepasang Tionghoa yang salah satunya disebut emak tadi. Penginapan Cih Imah menjadi tempat bermalam yang paling dicari oleh turis berduit cekak baik lokal maupun mancanegara, terlebih lagi di akhir pekan seperti ini. Letaknya yang dekat dengan pantai dan pasar seni membuat penginapan tak pernah sepi pengunjung dan setelah para turis tersebut lelah seharian berjalan-jalan, emaklah orang yang paling mereka cari.

Aku baru saja selesai mengancingkan seragam ketika di luar terdengar suara motor tua bapak. Aku langsung berhenti bergerak, takut bapak tahu di mana aku berada. Inilah masa-masa paling aku benci, ketika aku harus bertemu dengan bapak tanpa ada emak di rumah.

”Wartiiii… Wartiii!!! Punya istri kok kaya gini… bukannya enak malah cuman nambah-nambahi tanggungan saja! Wartiii!!!” bapak membuka dan membanting pintu-pintu dengan kasar, mencari-cari emak yang tentu saja tak akan ia temui. Umpatannya tak berhenti dan terdengar semakin keras saja dari kamar mandi tempatku berada. Bapak orangnya kasar. Dia bukan bapak kandungku. Tiga tahun yang lalu emak meninggalkan bapak kandungku demi menikah dengan bapakku yang sekarang, yang katanya sangat mencintai emak. Aku diajaknya ikut serta karena jika tidak begitu, aku tidak mungkin dapat meneruskan sekolah lantaran bapak kandungku sakit-sakitan dan tidak punya pekerjaan. Tapi siapa sangka, setelah pindah ke kota dan nama kami berdua telanjur dihapus dari silsilah keluarga, barulah ketahuan kalau pekerjaan sebagai distributor logistik yang selama ini bapak baruku maksudkan adalah bekerja sebagai supir truk beras.

”Wartiiii!!!” sekarang suara bapak sudah tepat di depan pintu kamar mandi.

Dok… dok… dok… ia pun menggedor pintu kamar mandi. Badanku gemetaran. Di luar bapak berhenti berteriak-teriak, lalu suaranya berubah lembut.

”Asih… ini kamu yang di dalem?” aku menarik nafas panjang sebelum menjawab.

”I… iya, Pak,” jawabku pelan.

”Emak kamu mana?”

”Sudah berangkat, Pak,”

”Cepet keluar, buatin Bapak sarapan!” tak ada pilihan lain selain mengikuti perintah bapak karena jika tidak, ia akan marah dan menjebol pintu kamar mandi seperti dulu. Aku pun membuka pintu kamar mandi. Bapak tak lagi berdiri di sana. Ia sudah beranjak ke ruang depan yang pintunya tertutup rapat. Merebahkan diri di kursi kayu panjang sambil memutar-mutar tombol radio yang ia letakkan di atas perut buncit berbalutkan kaos singlet bututnya, mencari siaran yang pas dengan suasana hatinya.

Tak mau buang-buang waktu, aku segera membuatkan dadar telur untuk bapak. Aku tak peduli dengan baju seragam putih abu-abuku yang terkena cipratan minyak dan berbau asap gorengan telur, yang penting cepat buatkan sarapan dan keluar dari rumah. Lima menit kemudian, sepiring telur dadar dan nasi di piring yang lain sudah ada di tanganku dan segera kubawakan ke ruang depan tempat bapak berada.

”Sarapannya, Pak,” Bapak pun bangkit dari rebahannya, meletakkan radio yang mulai memutar intro lagu Sewu Kutho Didi Kempot di sampingnya, sambil memperhatikan aku meletakkan piring di meja kayu bertaplak di hadapannya.

”Sini, sarapan sama Bapak,” Bapak menepuk kursi kayu yang ia duduki, memberi isyarat agar aku duduk di sampingnya.

”Ndak usah, Pak, Asih sudah terlambat ke sekolah,”

”Asih, sini duduk sebelah Bapak!”

”Tapi, Pak…”

”Kamu ndak denger, ya, Bapak bilang apa?” lagi-lagi aku tak punya pilihan. Aku pun duduk di samping bapak. Bukannya segera menyantap makanannya, bapak malah memandangiku. Matanya menyapu tubuhku dari atas ke bawah, sambil sesekali berhenti pada bagian tertentu. Aku mulai merasa risih, tidak nyaman dengan sikap bapak. Takut. Aku tak berani  mengangkat wajah, apalagi membalas tatapan mata bapak.

”A… Asih mesti berangkat sekolah sekarang, Pak,”

”Endak, hari ini kamu nggak usah sekolah. Kamu temenin Bapak di rumah,” Deg… aku langsung merasa kalau ”itu” akan terjadi lagi. Bapak menggeser duduknya ke dekatku dan mulai memegang tanganku. Aku langsung menarik tanganku dan bangkit dari tempat duduk, namun bapak malah meraih pinggangku sehingga akupun kehilangan keseimbangan, jatuh ke arahnya.

”Endak, Pak, Asih mau sekolah,” Bapak tak mengiraukanku. Ia malah mulai menciumiku. ”Jangan, Pak, jangan…” aku pun meronta tapi sekali lagi bapak menarikku ke pelukannya. ”Pak, jangan!!!” aku berteriak. Kakiku menendang-nendang, mengenai meja kayu dan membuatnya menumpahkan semua benda yang diletakkan di atasnya. Termasuk sarapan bapak.

”Diam kamu! Sekali lagi kamu teriak, nanti emak kamu yang kena batunya!”

”Pak, jangan… Asih mau sekolah…” aku menangis tapi bapak sama sekali tak peduli.

”Ssshhh… Kamu mau, liat emak kamu itu kena pukul pentungan lagi?” bapak mengingatkanku pada suatu masa di mana aku melawan bapak ketika bapak akan melakukan ”itu” kepadaku. Malamnya, pulang dari bekerja, emak yang tidak tahu apa-apa langsung dipukuli bapak habis-habisan pakai pentungan kayu. Emak sampai tak bisa bangun dari tempat tidur selama dua hari sesudahnya.

”Jangan, jangan Emak…” aku sayang sama emak.

”Makanya… kamu nurut saja sama Bapak,” Bapak tidak berhenti menggerayangi tubuhku.

”Enggg…. Pak, Jangan…” Aku mengerang.

”Sssshhh… kamu, nggak usah sok suci, Asih… ini kan bukan pertama kalinya… kamu pikir Bapak jahat? Kamu pikir Emak kamu itu nggak jahat, apa? Kamu pikir Emak kamu itu cuma mijitin orang? Terus langsung pulang dan nggak ngapa-ngapain sama pasiennya?” Bapak berbisik di telingaku. ”Bapak ini udah baik, mau nerima kamu sama Emak kamu di sini, bayar sekolah kamu, kasih makan kamu sama emak kamu… Ndak salah to, kalo Bapak minta sesuatu dari kamu buat balesan?”

Setelah itu bapak tidak berkata apa-apa lagi, berkonsentrasi penuh pada apa yang sedang ia kerjakan. Aku cuma bisa sesenggukan kesakitan dan menerima saja perlakuan bapak. Membiarkan bapak memuaskan nafsu bejatnya di tengah alunan lagu Sewu Kutho yang tidak kunjung berakhir.

**

”Asih, Emak berangkat dulu, ya!”

Setelah menghabiskan lima belas menit di dalam kamar mandi, aku mendengar emak berteriak pamit untuk pergi bekerja.

”Iya, Mak…”

Sudah satu bulan berlalu semenjak kejadian tersebut. Setelah bapak menyelesaikan ”itu”, ia pergi keluar dengan motor pitungnya lagi. Meninggalkan aku tertelungkup menangis dengan seragam sekolah yang berserakan di lantai, bercampur dengan nasi dan telur dadar yang terguling bersama meja kayu tempat mereka berada sebelumnya. Entah pergi ke mana, tapi yang jelas itu terakhir kalinya aku melihat bapak. Bapak tak pernah pulang lagi setelah hari itu.

Suatu kali aku tak sengaja mendengar percakapan emak dengan Lik Harto, kenek truk yang selama ini menjadi mitra kerja bapak. Kata Lik Harto, bapak tewas dipukuli orang sekampung di daerah pedalaman karena mencoba melarikan diri setelah menabrak seorang anak yang sedang berdiri di tepi jalan. Emak menangis hebat setelah mendengar berita tersebut, tapi tak sekali pun ia menceritakannya kepadaku. Emak tak tahu kalau sebenarnya aku sudah tahu. Dan aku pun tak pernah menanyakan di mana bapak berada, jadi emak tak perlu repot-repot mengarang cerita bohong untukku.

Dan sekarang, aku masih berdiri telanjang di dalam kamar mandi, tidak melakukan apa pun sejak lima belas menit yang lalu, kecuali menangis. Air mataku menetes di atas perutku yang terlihat semakin buncit saja. Aku tak berani mengatakannya pada emak, takut emak akan bertambah sedih. Aku tak tahu berapa lama aku sudah berbadan dua karena aku sendiri tak ingat sudah kali ke berapa aku telat datang bulan. Aku pun tak tahu ”itu” yang mana yang bapak lakukan, yang sampai membuahkan janin di perutku.

Beberapa hari ini, hanya itu yang aku lakukan di kamar mandi. Menangis sambil memegangi perut yang selalu terasa mual, lupa pada kewajiban mandi yang seharusnya kulakukan sebelum berangkat sekolah. Aku tak tahu harus bagaimana. Tapi setidaknya aku merasa lega karena masa-masa yang paling aku benci tak akan pernah terjadi lagi. Masa-masa di mana aku harus bertemu dengan bapak tanpa ada emak di rumah.

Read Full Post »

Ujian Untuk Mala

UJIAN UNTUK MALA

Hujan deras masih belum berhenti mengguyur Jogja sore itu. Rintikan air yang jatuh dari langit siang tadi telah berubah menjadi badai, yang akan berlangsung lama dilihat dari hitamnya sang awan. Sesekali kilatan cahaya membelah kepekatan senja, diikuti gemuruh membahana membuat setiap orang yang mendengarnya berpikir bahwa langit akan runtuh.

Mala hanya bisa memandangi kampusnya yang mulai sepi dari segala kesibukan para mahasiswa tingkat satu yang baru saja selesai praktikum seperti dirinya. Satu-persatu teman-temannya memutuskan untuk menerobos hujan daripada menunggu penuh ketidakpastian kapan berhentinya sang hujan, seperti yang sedang Mala lakukan sekarang. Ia agak menyesal tidak menuruti nasihat ibunya untuk membawa payung karena langit terlihat sangat tak bersahabat sejak semalam. Ia mulai merasa gusar, sebentar lagi adzan Maghrib akan terdengar dan itu berarti ia harus rela kehilangan bis terakhir  yang melewati rumahnya.

Nia dan Ranti, dua sahabat terdekatnya, juga memutuskan untuk menerjang hujan meski tanpa payung. Tak mengapa bagi mereka karena rumah mereka tak sampai lima puluh meter dari kampus. Hanya tinggal ia dan Rika sekarang, teman sekelas Mala, yang masih sabar menunggu di serambi kampus.

Mala berjalan mondar-mandir, berfirasat kalau sore ini ia memang ditakdirkan untuk pulang berjalan kaki. Lain halnya dengan Rika, yang duduk dengan tenang sembari mendengarkan lagu dari I-Pod-nya. Bukan masalah bagi Rika karena ia sedang menunggu jemputan, tetapi dua kilometer bukanlah jarak berjalan kaki yang dekat bagi Mala, apalagi di tengah-tengah hujan seperti ini. Dan menerjang hujan untuk sampai di halte bis bukanlah sebuah pilihan yang baik, mengingat blus putihnya nanti akan basah kuyup, menempel di tubuhnya, lalu menimbulkan decak penuh nafsu para pria yang melihatnya, terutama si kernet mesum yang hobi menggoda mahasiswi di bisnya.

Terlihat cahaya lampu motor yang perlahan mendekat, suaranya habis ditelan gemuruh hujan. Motor itu berhenti tak jauh dari tempat Mala berdiri dan Rika berjalan penuh kegembiraan menyambut pacarnya.

“Mala gimana? Sendirian, dong?” Rika menengok penuh simpati ke arah Mala.

“Nggak apa-apa kok, Rik. Kamu duluan aja,”  Mala berkata munafik karena di dalam hatinya ia berharap motor pacar Rika tiba-tiba mogok, sehingga ia akan mendapat tambahan orang untuk menemaninya di kampus.

“Ya udah kalo gitu. Dah Mala,” tanpa basa-basi kedua orang itu meluncur di atas motornya menembus benteng air, memupuskan harapan konyol Mala.

“Hhhhhh….” Mala menghembuskan nafas panjang pertanda ia sedang sangat berputus asa. Pada saat-saat seperti ini ia menyesal tidak mempunyai pacar. Ia merasa iri dengan teman-temannya yang dulu selalu pulang naik bis bersamanya, karena sekarang mereka sudah punya pacar masing-masing yang setia mengantar jemput kapan pun dibutuhkan.

Adzan Maghrib akhirnya berkumandang sayup-sayup di kejauhan. Mala memutuskan untuk mengambil air wudhu dan menjalankan sholat maghrib, sambil berharap agar hujan berhenti setelah ia selesai sholat sehingga ia dapat segera pulang ke rumah.

Sedikit takut sebenarnya, sholat di mushola kampus mengingat letaknya yang jauh berada di bagian belakang bangunan. Apalagi pada jam-jam dan suasana seperti ini. Namun Mala percaya pada Tuhannya dan hanya merasa takut kepadaNya sehingga hanya dengan sebuah tarikan nafas panjang, keberaniannya pun terkumpul. Perlahan  ia berjalan menuju musholla sambil mencari-cari penuh harap akan bertemu dengan orang lain yang senasib dengan dirinya. Lagi-lagi harapan Mala pupus. Tak ada seorang pun ia lihat, begitu pula ketika ia selesai sholat dan berjalan kembali ke serambi depan tempat ia menunggu sebelumnya.

Ia merasa lebih tenang sekarang, meskipun hujan tak kunjung berkurang dan langit semakin temaram. Ia hanya dapat berharap semoga hujan lekas berhenti, sembari mengisi waktu menunggunya untuk mempelajari bahan uji praktikumnya esok hari. Agaknya kali ini harapan Mala terkabul. Lima belas menit kemudian sang awan mulai menunjukkan gejala-gejala kehabisan air untuk dituangkan. Perlahan tapi pasti, hujan berubah menjadi gerimis rintik-rintik. Mala merasa cukup aman untuk berjalan pulang sehingga tanpa pikir panjang ia beranjak dari tempat menunggunya dan memulai perjalanan panjangnya menuju rumah.

**

Jalanan becek dan berlumpur. Air tampak menggenang di sana sini. Mala memilih melewati jalanan kampung untuk memperpendek jarak. Rute yang sama yang ia ambil ketika ia sedang tak ingin berhimpit-himpitan di dalam bis. Hanya saja biasanya itu terjadi di siang hari, ketika keadaan tak segelap dan sesunyi sekarang ini. Daerah persawahan terbentang di depannya. Mala melewati tepian sawah dengan sangat berhati-hati agar tak terperosok ke dalamnya mengingat sehabis hujan tanah menjadi lebih lunak dan rawan longsor, sambil tetap menunduk menghindari gerimis.

Setelah melewati daerah persawahan, Mala merasa lebih tenang karena di kiri kanan jalan tampak beberapa rumah penduduk, yang walaupun pintu dan jendelanya tertutup rapat, cahaya lampu pijar di depan rumah sangat membantu Mala berjalan di kegelapan. Tak satupun orang Mala temui. Semua orang tentu lebih memilih bersantai di dalam rumah mereka yang hangat di tengah dinginnya malam bergerimis seperti ini.

Sudah hampir setengah jalan menuju rumah ketika Mala ingat bahwa sebentar lagi ia akan melewati sebuah jembatan tua yang menghubungkan dua desa. Serta-merta Mala teringat akan cerita tidak enak yang pernah ia dengar dari penduduk sekitar. Menurut mereka, dahulu ada seorang gadis yang bunuh diri di jembatan itu. Konon pada malam hari ketika ia melewati jembatan sepulang dari bekerja, ia diganggu oleh seorang pemuda berandalan. Ia sangat tak berdaya ketika akhirnya si pemuda memperkosanya. Ia merasa begitu tertekan sehingga ia lebih memilih terjun dari jembatan tersebut daripada hidup menanggung aib. Dan menurut cerita penduduk sekitar, sampai saat ini banyak orang yang sering melihat arwah sang gadis berdiri di tengah jembatan.

Mala mulai merasa gentar, namun ia tak punya pilihan. Di depan tampak sebuah pos ronda yang lampunya menyala terang, membuat ia merasa sedikit aman. Namun dengan segera rasa aman itu hilang dan digantikan rasa cemas ketika dilihatnya siapa yang ada di dalam pos ronda. Tiga orang pria sedang bermain judi ditemani botol-botol minuman keras yang hampir kosong. Mereka berteriak-teriak, tertawa-tawa, dan sesekali menenggak sisa minumannya.

Mala mempercepat langkahnya ketika lewat di depan mereka, menunduk lebih dalam, berharap mereka tak melihat dirinya melintas. Mala tahu harapannya lagi-lagi tak terkabul ketika suara gaduh yang ditimbulkan ketiga pemabuk itu tiba-tiba menghilang. Mala semakin menambah kecepatan kakinya ketika ia mendengar langkah-langkah orang mengikutinya dari belakang. Langkah-langkah berat yang terseret-seret itu semakin mendekat, semakin mendekat, sampai akhirnya Mala memutuskan untuk berlari.

Tak lagi terpikir olehnya cerita seram orang-orang yang ia dengar tentang jembatan yang membentang di depannya. Ia hanya ingin berlari secepat mungkin dan sampai ke rumahnya, jauh dari suara langkah-langkah kaki yang kini juga berlari mengikutinya. Mala sempat mencium bau minuman keras dan merasakan nafas panas di tengkuknya ketika akhirnya sebuah tangan besar mencengkeram bahunya.

Mala berbalik dan berhadapan dengan ketiga pemabuk yang ia lihat di pos ronda tadi. Orang yang mencengkeram bahunya tersenyum penuh nafsu kepadanya, mempertontonkan gigi-gigi kuning yang kebanyakan disiram alkohol.

“Mau apa kalian?” Mala berteriak sambil mencoba melepaskan diri dari cengkeraman si Gigi Kuning, yang malah tertawa mendengar bentakan ketakutan Mala. Seorang pemabuk lain yang bertubuh ceking menghalangi jalan Mala, sementara satu orang yang lain berusaha memegangi  kedua tangan Mala.

“Toloooong!!!! Toloooong!!!” Mala berteriak sejadinya, namun si Gigi Kuning dengan segera membekap mulut Mala. Mala meronta-ronta, berusaha mempertahankan diri dari penyerangnya. Namun apalah artinya perlawanan seorang gadis terhadap tiga orang pria dewasa yang sedang dalam keadaan mabuk.

Mereka membopong Mala ke tepi kebun yang ada di samping jalan. Satu persatu mereka memuaskan nafsu mereka, tanpa memedulikan jeritan tak berdaya seorang gadis polos yang mereka renggut mahkotanya. Mala tak lagi punya kekuatan untuk meronta. Rintik air hujan bercampur keringat orang-orang bejat yang menodainya membasahi wajah Mala, mengalir bersama air matanya menuju bumi. Ia hanya menangis, menganggap Tuhannya tak sayang padanya, tak melindunginya justru di saat-saat paling kritis. Mala kesakitan. Sampai akhirnya ia tak sadarkan diri.

**

Kokok ayam jantan di kejauhan membangunkan Mala dari pingsannya. Ketika ia mencoba untuk bangun, sakit menjalar ke sekujur tubuhnya. Ia menangis lagi. Blus yang dikenakannya tak lagi berwarna putih sekarang, penuh noda lumpur kecoklatan dan koyak di sana-sini. Hal itu juga yang dirasakan Mala. Kotor, ternoda, dan terkoyak. Mala menutupi tubuhnya dengan blusnya yang tak lagi berbentuk yang masih menempel di badannya dan tak tahu harus melakukan apa. Ia sangat malu untuk pulang ke rumah.

Mala sesenggukan sambil mengedarkan pandangannya. Ketiga pemabuk itu tak lagi terlihat. Meski matahari belum lagi menampakkan diri , siluet jembatan tua itu tampak jelas, membentang dengan gagah di hadapannya. Mala bertatap mata dengan seorang gadis yang berdiri di tengah jembatan, yang melambaikan tangan ke arahnya seakan menyuruh Mala mendekat.

“Mala…. Mala….” Gadis itu memanggil-manggil Mala. Mala tak percaya akan apa yang dilihatnya, namun setelah apa yang ia alami ia tak lagi bisa berpikir jernih. Mala perlahan bangkit dari duduknya, menahan rasa sakit, dan mencoba mendekat ke arah gadis itu. Mala tak lagi punya rasa takut sekarang, yang ia rasakan hanyalah sakit.

“Kamu… tahu namaku?” Mala berkata perlahan. Si gadis tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

“Karena aku temanmu,” jawabnya. “kemarilah,”  Mala berjalan tertatih-tatih ke arahnya. Jembatan tua itu berderik-derik menahan berat tubuh Mala. Mala hampir sampai ke samping gadis itu ketika ia mendengar sebuah suara di ujung jembatan yang satunya.

“Lho, mbak…” Mala menengok ke arah sumber suara. Dilihatnya seorang ibu-ibu yang memanggul sebuah keranjang besar hendak menyeberang namun tertahan ketika melihat sosok Mala, ragu apakah yang berada di hadapannya itu manusia atau bukan.

Mala mengalihkan pandangan dari ibu tersebut, mencari-cari si Gadis yang lenyap begitu saja.

“Mala… di sini…” Mala melongok ke bawah dan mendapati si gadis berdiri di tengah-tengah aliran sungai yang cukup deras dan berbatu, seakan ia melayang. “Aku temanmu, kemarilah…”

Tatapan Mala kosong dan tanpa pikir panjang lagi ia menuruti ajakan gadis itu. Mala melompat dari jembatan.

“Mbaak… Mbaaak!!!!” si ibu berlari mencoba mencegah Mala, namun ia terlambat. Ketika ia sampai di tempat Mala berdiri tadi, yang didapatinya hanyalah tubuh Mala yang tertelungkup di sungai, tepat menghantam sebuah batu. Darah keluar dari sekujur tubuh Mala, mengalir bersama air sungai yang dingin. Mala tak lagi bernyawa. Mala telah gagal melewati ujian terbesar yang disiapkan Tuhan untuknya.

Read Full Post »

Lolipop Bowo

L O L I P O P   B O W O

dengarkanlah permintaan hati yang teraniaya sunyi

dan berikanlah arti dalam hidupku

yang terhempas, yang terlepas….

Lagu milik sebuah grup band kondang tersebut mengalun sumbang dari mulut seorang gadis kecil. Di bawah terik matahari yang menyengat tanpa ampun, Woro, begitu gadis itu dipanggil, tetap bersemangat menyanyi sambil menggoyangkan alat musiknya yang terbuat dari tutup botol minuman bersoda yang dipakukan pada sepotong kayu. Lagu yang dinyanyikan Woro tak pernah utuh karena yang selalu terjadi, baru satu-dua kata ia lantunkan, orang yang yang ia hampiri buru-buru memberikan isyarat maaf-tidak-punya-uang-receh lewat tangannya. Atau jika ia sedang bertemu orang baik hati, kepingan ratusan rupiah akan meluncur ke sakunya, juga dengan terburu-buru. Woro sama sekali tak masalah dengan segala keburu-buruan yang ia terima dari para ”konsumennya” karena dengan begitu, ia pun dapat buru-buru pindah ke kendaraan lain untuk melakukan hal yang sama sebanyak mungkin sebelum si lampu lalu lintas berubah hijau.

Itulah yang Woro lakukan setiap hari. Ketika matahari mulai merangkak naik, ia berangkat ke tempat kerjanya, sebuah pertigaan dengan traffic light dan penghitung mundur di tengah kota Jogja. Woro tak pernah sendirian karena selain ada teman-temannya yang turut berbagi lahan pekerjaan di sana, ia juga selalu membawa adiknya yang baru berusia enam tahun bersamanya. Adik Woro bernama Bowo, bocah cengeng yang sering membuat Woro kesal karena kerewelannya. Walau pun terkadang membentak atau berkata kasar pada adiknya, Woro sebenarnya sangat menyayangi satu-satunya saudara sedarahnya itu. Woro selalu membela jika adiknya diganggu oleh teman-temannya, Woro selalu memeluk dan menenangkan adiknya ketika ia menangis, Woro yang mengobati luka di dengkul adiknya ketika ia terjatuh, Woro jugalah yang selalu menggendong adiknya jika ia lelah berjalan sepulang dari pertigaan.

Di dunia ini hanya Bowo satu-satunya orang yang Woro sayang. Ia tak tahu lagi di mana kedua orang tuanya berada semenjak mereka terpisah ketika terjadi garukan di suatu malam dua tahun yang lalu. Emak dan bapaknya dibawa polisi bersama para tuna wisma yang lain, sementara Woro dan adiknya disembunyikan di sebuah WC umum Paginya Woro keluar dari tempat persembunyiannya dan tak mendapati seorang pun yang dikenalnya. Maka ia pun berjalan sambil menggendong adiknya, tanpa arah, berhari-hari makan dari hasil mengai-ngais tempat sampah, sampai ia bertemu Bu Lik. Bu Lik adalah wanita gendut seumuran emaknya yang tak sengaja Woro jumpai di sebuah pasar. Bu Lik bersedia memberi tempat tinggal bagi Woro dan adiknya tapi tentu saja dengan syarat. Seperti tiga anak lain yang ditampung Bu Lik, Woro harus ikut mengamen dan menyetorkan dua puluh ribu rupiah setiap harinya. Dua puluh ribu itu seperti tiket masuk  ke rumah Bu Lik. Ada uang, ada tempat tidur dan makan untuk semalam. Kurang dari dua puluh ribu, jangan harap Bu Lik mau membukakan pintu, walaupun uangnya tetap jatuh ke tangan Bu Lik.

**

Beberapa anak berseragam merah putih tampak lalu lalang di depan Woro yang sedang duduk bersila di bawah pohon peneduh trotoar siang itu. Ia menghentikan aktivitasnya menghitung recehan di saku celana birunya yang sudah lusuh, lalu mendongak dan memandang iri pada mereka. Jika Woro diberi kesempatan mengenyam bangku sekolah, ia sudah kelas tiga sekarang, sama dengan mereka yang sedang berlalu di depannya. Woro sering membayangkan menjadi seperti mereka, berseragam rapi dan menggendong tas barbie, berjalan bergerombol seusai sekolah, menyeberang di zebra cross sambil bergandengan tangan satu sama lain, lewat di hadapan anak-anak jalanan yang sedang beristirahat di bawah pohon dengan takut-takut sambil sesekali melirik was-was.

”Uh… bocah-bocah sekolahan kae… mbok ora usah ndelokke kaya ngono ngapa, to? Dikira awak dhewe ki meh ngerampok, po?” protes Ipul, rekan seprofesi Woro yang sedari tadi duduk di sampingnya. Agaknya Ipul pun merasakan kecemburuan yang sama dengan Woro. Ipul seumuran Woro, namun tabiatnya dua level lebih keras dibanding Woro. Karena pengaruh lingkungan tampaknya. Ipul juga salah satu anak yang dipelihara secara bersyarat oleh Bu Lik.

“Ya podho wedi nek ndelok kowe, Pul, lha wong dandananmu wae kaya garong. Weh, tindikanmu nambah meneh po kui?” Woro selalu memperhatikan telinga temannya yang penuh dengan piercing, dan selalu berharap semoga adiknya kelak tidak memiliki telinga seperti itu.

”Hehe… lagi wae nemu anting-anting tibo neng aspalan. Ta pasang wae neng kene. Ning mung ta pasang, durung ta bolongi kupinge,” cerita Ipul sembari menunjukkan sederet anting-anting di telinga kirinya. Di telinganya yang satu lagi terpasang asal-asalan sebuah peniti berukuran besar.

”Medeni, Pul. Mbok dicopoti wae,” ujar Woro sambil bergidik ngeri.

”Nek dicopoti malah tambah medeni, lha wes kadung bolong-bolong je kupinge,” bela Ipul polos.

”Worooo!” terdengar suara geledek Bu Lik memanggil dari kejauhan. Yang merasa dipanggil pun menoleh ke arah datangnya suara. Bu Lik berjalan perlahan, keberatan membawa tubuh gendutnya, mendatangi Woro, ”Adhimu kae kok ora tok urusi, nangis jerat-jerit neng ngarep toko dhewean! Kana gek ndang diparani!” jari buntek  Bu Lik menunjuk-nunjuk ke arah sebuah supermarket yang terletak tak sampai sepuluh meter dari pertigaan.

”Iya… iya… ta parani saiki,” Woro segera bangkit dari duduknya. ”Si Tri ra ono, po? Dheweke sing ta titipi Bowo mau,” tanyanya pada Ipul.

”Ketoke mau neng angkringan, aku weruh. Ning embuh saiki neng endi,” jawab Ipul cuek, asyik sendiri memegang-megang koleksi anting-anting di telinganya.

Woro berjalan cepat ke parkiran supermarket, tempat adiknya dan beberapa teman seprofesi lainnya biasa bermain. Segera didapatinya Bowo duduk bersila di aspal parkiran mobil yang dinaungi bayang-bayang pohon beringin, sedang menangis sejadi-jadinya sambil memegangi pelipisnya. Satpam supermarket yang sudah hapal dengan Woro dan kawan-kawannya berdiri di depan adiknya, kewalahan menyuruh adiknya berhenti menangis. Orang-orang yang lewat hanya memperhatikan adegan itu sambil lalu, dan mungkin salah persepsi, mengira Pak Satpamlah yang memarahi si anak jalanan sampai membuatnya menangis histeris seperti itu.

”Ngopo to, Pak?” tanya Woro seraya menghampiri adiknya yang semakin menjadi-jadi menangis demi melihat kakaknya datang.

”Lha ra ngerti. Wong ket mau mung dolanan dhewean, ujug-ujug kok malah nangis. Gek dikon meneng kana, mrebeki liyane,” Pak Satpam pun meninggalkan mereka berdua.

”Heh! Menengo to, Wo! Ono opo to kok nangis?”

“Huaaa!!!” yang ditanya malah semakin histeris. Air mata mengalir deras menyatu bersama keringat yang menganak sungai di wajahnya. Bowo sama sekali tak menyekanya, tangannya masih sibuk memegangi pelipisnya.

“Malah tambah banter! Hus! Meneng, to! Ta undangke Bu Lik gelem po kowe?”  Mendengar ancaman kakaknya, Bowo pun mengecilkan volume tangisannya. ”Ngopo? Kok nangis ki ono opo?” ujar Woro sembari mengelap ingus di hidung Bowo dengan ujung kaos butut adiknya.

Bowo sekarang sudah lebih tenang, sambil sesenggukan dia bercerita, ”Kae, cah kae, mau… hik… nakali aku,” Bowo menunjuk seorang gadis kecil seumurannya yang berseragam SD, bersandar di samping sebuah Avanza merah yang sedang diparkir dengan pintu belakang yang terbuka, mengamati mereka berdua dari kejauhan. Kedua tangannya dilipat ke depan, salah satunya memegang sebuah permen lolipop berwarna kehijauan sebesar tatakan cangkir yang sesekali dijilatinya. Dilihat dari pakaiannya yang bersih dan rambut lurusnya yang dikuncir dua dengan rapi, sudah dapat dipastikan bahwa siswi kelas satu SD itu adalah anak orang kaya pemilik Avanza merah, yang sedang berbelanja di supermarket bonafit tersebut.

Woro kembali berpaling pada adiknya, ”Kowe mau diapakke?”

”Hik… dibandem kui,” kali ini Bowo menunjuk sebuah batu seukuran kuku ibu jari orang dewasa yang tergeletak di dekat kakinya. Bowo pun melepaskan pegangan di pelipisnya, menunjukkan luka lecet kemerahan di sana. ”Dheweke mau ngiming-ngimingi… hik… permen karo ngece-ngece. Njut pas aku meh lungo.. hik hik… sirahku malah dibandem.”

”Tok bales ra terusan?” Woro mulai tersulut emosinya, kembali ia menatap si gadis kecil dengan sebal. Si gadis kecil menjulurkan lidahnya dan memalingkan mukanya. Woro paling benci jika ada yang menyakiti saudaranya, apalagi kalau itu dilakukan oleh orang kaya yang sombong.

Bowo menggelengkan kepalanya sembari menyeka ingusnya yang kembali mengalir membasahi atas bibirnya dengan punggung tangan. ”Hik… wedi karo ibune.”

”Sedhilit, yo, kowe neng kene dhisek,” Woro bangkit dan bergerak ke arah si gadis kecil.

”Mbak,” Woro menoleh ke arah Bowo, ”Aku gelem permene,” pinta Bowo, masih sambil sesenggukan.

”Yo wis mengko gampang,” jawab Woro. Kembali berjalan ke tempat gadis kecil berada, mata Woro melirik kanan kiri, mencari sosok ibu yang dibilang Bowo. Baru beberapa kali ia melangkah, datanglah seorang wanita muda berblazer coklat tua bercelana krem ketat, dengan kacamata besar berwarna coklat disematkan di kepalanya yang berambut coklat. Kedua tangan mulusnya menopang sebuah kantong belanjaan besar, sementara bibir berlipstik coklatnya tak henti mengeluarkan omelan.

”Aduh, nyusahin aja, ini kan berat bawanya. Aduh!” sepatu hak tingginya yang juga berwarna cokelat tersangkut lobang di aspal, membuatnya limbung sebentar. Ia akhirnya sampai di pintu belakang Avanza merah, susah payah mengangkat bawaannya dan meletakkannya ke tumpukan beberapa kantong kertas serupa yang telah lebih dulu ada di dalamnya. ”Sabar ya, Sayang, gara-gara trolley-nya macet rodanya, Mamah jadi harus angkut-angkut deh,” ia mengelus kepala si gadis kecil sembari berpesan, ”Nana jangan ke mana-mana, ya, Mamah dah hampir selesai,”

”Iya, Mah, Nana di sini aja kok,” jawab si gadis kecil bernama Nana sambil tersenyum manja pada ibunya. Si Wanita-Serba-Coklat tadi meninggalkan anaknya untuk mengangkut sisa belanjaan yang masih tertinggal di trolley. Sebuah kantong belanjaan besar menunggu untuk diangkut dari keranjang beroda yang tak bergerak di tengah parkiran mobil yang sedang penuh-penuhnya.

Setelah melihat Pak Satpam sedang asyik mendengarkan radio di posnya, Woro segera berlari menghampiri Nana sebelum ibunya kembali lagi.

”Heh! Wani-wanine kowe nakali adhiku!” bentaknya sambil menjewer telinga Nana, ”Njaluk pangapura kana!”

”Huaaaa!!! Maaamaaahhh!!!” Nana yang ketakutan hanya bisa menangis dan berteriak memanggil-manggil ibunya.

”Heh! Malah jerat-jerit! Meneng ra kowe!” Woro semakin menjewer telinga Nana, ”Lara ra rasane? Dibandem sirahe ki lara! Nyoh saiki rasakna! Kene permene!” Woro berusaha merampas lolipop dari Nana.

”Nggak mau! Maaammmaaahhh!!!” Nana tak mau memberikan lolipopnya. Ia sekarang malah memeganginya dengan dua tangan.

”Kene permene!” Woro melepaskan jewerannya, menggunakan tangannya untuk mencubit tangan kecil Nana. Nana semakin keras menjerit, namun pegangannya mengendur juga. Lolipop telah berhasil Woro rebut ketika tiba-tiba kepalanya dihantam oleh sebuah tas besar. Bruuukkk!!! Woro jatuh tersungkur di aspal. Begitu pula lolipopnya.

”He! Apa-apaan ini! Pergi sana! Berani-beraninya kamu!” si Wanita-Serba-Coklat sudah berdiri di hadapan Woro untuk melindungi anaknya. Setelah melihat Woro tak berdaya berkat hantaman tas Gucci coklat yang sedari tadi tersampir di pundaknya, si Wanita-Serba-Coklat menghampiri Nana dan menggendongnya sambil berusaha menenangkannya. ”Cup… Cup… Sayang… Mamah di sini sekarang, kamu nggak apa-apa, kan?”

”Huaaa!!! Mammaahh!!! Sakiiit…” Nana menunjukkan tangannya yang baru saja dicubit oleh Woro. Beberapa noda kemerahan tertinggal di sana.

”Mana yang sakit? Sini Mamah obatin… hufff… sembuh…” Ibunya meniupi  sambil mengelus-elus tangan Nana seakan bekas cubitan tadi bisa hilang sakitnya dengan cara tersebut. ”Sembuh… Hufff… udah nggak sakit kan, Sayang?”

”Mamaaaah… tadi dijewer juga… sakiit…”

”Masih sakit? Huff… sembuh…” sekarang si Wanita-Serba-Coklat meniupi telinga anaknya. ”Udah… udah… nggak sakit lagi kan?” tangis Nana sudah mulai reda, namun  wajahnya masih merah dan basah oleh air mata.

”Ituuu dijewer juga…” ujarnya merajuk sambil menunjuk Woro yang masih merasa pusing dan sedang berusaha bangkit mengembalikan keseimbangannya. Belum lagi berdiri tegak, tangan Wanita-Serba-Coklat sudah lebih dulu mencapai telinga Woro dan menariknya keras.

”Aaaaww!” Woro menjerit kesakitan.

”Heee! Jadi anak nakal banget! Ga pernah diajarin sama bapak ibumu ya? Nggak tau aturan! Mau kamu saya laporin ke polisi? Ha? Bisa masuk penjara kamu!”

Woro panik bukan main begitu mendengar kata polisi. Ia pun mencubit tangan yang sedang menjewernya dengan keras-keras.

”Adududuuh!!!” giliran Wanita-Serba-Coklat yang menjerit kesakitan. Ia pun melepaskan jewerannya, ”Anak Setan! Kurang ajar! Anak gak tau diri!” Teriakan marah si ibu tak dipedulikan Woro yang berlari secepat mungkin meninggalkan mereka, kalap mencari adiknya. Setelah menemukan Bowo yang masih duduk bersila di tempat semula, Woro langsung menggendongnya pergi, juga sambil berlari.

Pak Satpam yang mendengar teriakan marah Wanita-Serba-Coklat dan melihat Woro yang berlari pontang-panting segera keluar dari posnya dan menghampiri si ibu-anak.

”Ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanya Pak Satpam tanpa dosa.

”Bantu-bantu! Enggak liat, apa, tadi anak saya dipalakin sama anak jalanan! Dipukulin pula! Liat ni, tangan anak saya sampe merah-merah semua! Lalu apa kerjaan Bapak selama ini? Masak ada kejahatan Bapak bisa nggak tahu? Saya bisa mengajukan protes ke manajemen supermarket ini! Saya juga bisa kirim protes ke koran! Nggak cuma Bapak, tapi nama baik perusahaan ini juga bisa saya jatuhkan!”

”Maaf, Bu, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya berjanji kejadian ini tak akan terulang lagi. Kami siap mengganti kerugian Ibu. Saya benar-benar mohon maaf, saya sedang melakukan tugas lain tadi…” Pak Satpam ketakutan setengah mati mendengar ancaman Wanita-Serba-Coklat.

”Aaah! Alasan! Saya kapok belanja di sini! Kalau saya tuntut ke pengadilan, Bapak gak bakalan kuat bayar kerugian saya!” ujar si ibu dengan galaknya. Ia beranjak untuk mengambil kantong belanjaan yang tadi ia taruh di aspal begitu saja demi melihat anaknya sedang disakiti. Pak Satpam mencoba membantunya, namun ditepis dengan kasar oleh si ibu. ”Saya tidak butuh bantuan! Apalagi dari satpam yang tidak becus seperti Anda!” menggendong anaknya di tangan kanan, si wanita kesulitan berjongkok mengambil kantong belanjaannya.

”Mari Saya bantu, Bu,” pak Satpam memaksa memberikan bantuan. Diambilnya kantong belanjaan tersebut dan dimasukkannya ke bagian belakang mobil yang pintunya masih terbuka sedari tadi. Tak ada ucapan terima kasih meluncur dari bibir si ibu. Justru omelanlah yang didapat Pak Satpam.

”Anda tidak dengar, ya? Saya tadi bilang saya tidak butuh bantuan!”

”Maaf, Bu, saya hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan,”

”Tetap saja Anda tidak becus bertugas!” Omel Wanita-Serba-Coklat sambil membanting pintu belakang mobilnya.

Nana hanya diam saja di gendongan ibunya. Ia kemudian melihat lolipopnya yang tergeletak di aspal. ”Mamah, permen Nana…”

”Udah, besok Mama beliin lagi yang banyak. Yang pasti nggak di sini belinya,” jawab mamahnya sambil melirik Pak Satpam. Ia memasukkan Nana ke mobil, memasang sabuk pengaman, dan menutup pintu. Ia sendiri berjalan berputar ke sisi mobil yang satunya untuk duduk di kursi pengemudi, menutup pintu, menyalakan mesin, dan segera memacu mobilnya keluar dari area supermarket. Pak Satpam yang masih berdiri di tempatnya hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia kemudian kembali ke pos penjagaannya.

**

Sepasang mata kecil mengikuti sedari tadi di kejauhan, bersembunyi di balik tanaman rimbun yang menghiasi tepian trotoar kota di seberang supermarket. Adegan murkanya si Wanita-Serba-Coklat kepada Pak Satpam, perginya si Avanza merah, dan kembalinya Pak Satpam ke pos penjagaannya. Setelah merasa segalanya aman, si pemilik mata pun berkata pada orang yang dipeluknya,

”Kowe tunggu neng kene dhisek yo, Wo, ojo metu-metu,” yang diberi pesan hanya mengangguk pelan. Tubuhnya masih gemetaran setelah digendong paksa dan dibawa lari oleh kakaknya dengan paniknya.

Perlahan Woro keluar dari persembunyiannya, menyeberang jalan, dan mendekati parkiran supermarket sambil mengendap-endap, memastikan Pak Satpam tak melihatnya. Sambil bersembunyi di balik mobil-mobil yang diparkir, Woro mendekati tempat di mana Avanza merah sebelumnya berada. Setelah sampai, ia menemukan apa yang dicarinya. Diambilnya lolipop dari aspal. Dibersihkannya sisa kerikil yang menempel dengan tangan kotornya.

Sambil berusaha menjumputi kerikil yang masuk ke dalam tubuh permennya, Woro mendatangi tenda angkringan tak jauh dari situ.

”Ngopo, Wor? Ra ono es teh gratisan meneh,” sapa yang empunya angkringan.

”Ora kok… nunut ngumbah permen yo, Kang.”

”Permen kok dikumbah? Aneh-aneh wae kowe ki, Wor, Wor…” Woro tak mempedulikan komentarnya.

Dipilihnya ember cucian yang kelihatannya berisi air paling bersih. Dicucinya si lolipop hingga tak ada lagi kerikil atau debu menempel di sana. Setelah mengeringkannya dengan ujung bajunya, Woro pun tersenyum puas sembari beranjak kembali ke persembunyiannya, tempat adiknya tersayang menunggunya. Tempat adiknya tersayang menunggu lolipopnya.

Read Full Post »

rasa manis imajinatif

Tiramisu yang tinggal sepotong itu tak mengenal ampun. Sungguh tega ia mencabik-cabik mataku, yang sedari tadi berusaha menahan diri untuk tidak meliriknya. Tapi sudah kubilang, ia tak mengenal ampun. Saus ungu blueberry-nya meleleh dengan sangat seksi, memanggil-manggil bibir untuk menghisapnya. Potongan tipis cokelat putih menyelimuti rata permukaannya, menggoda lidah untuk menjilatnya. Dan tubuh rotinya yang tebal berwarna sempurna, benar-benar menghipnotisku untuk membayangkan kelezatannya ketika ia lumer di dalam mulut. Imanku goyah.

“Osa, tambah tiramisu satu, ya,” ujarku pada penjaga kasir yang sedang membuatkan pesananku sebelumnya.

“Ha! Saya tahu mbak Aul nggak akan tahan liat tiramisu nganggur, tinggal satu pula! Pakai sok diet segala,” Osa menimpali tanpa berbalik dari mesin pembuat kopi.

”Ah, cerewet kamu. Ini semua salah kamu, kenapa kamu taro tiramisu di barisan paling depan kayak gitu, bikin orang jadi khilaf aja.”

”Hahaha, Mbak Aul ini aneh, namanya juga jualan. Jadi memang tugas saya untuk membuat pembeli jadi khilaf,” ujarnya tulus sambil meletakkan segelas capucino ke nampan di depanku.

”Hah, kamu memang seller yang hebat, Sa.”

”Wah, bukan saya, lho, yang bilang, hehe… Jadi  nasi goreng seafood satu, capucino dingin satu, plus tiramisu satu,” Osa memberikan penekanan pada kata tiramisu, “Semuanya dua puluh satu ribu enam ratus. Sebentar ya, Mbak, saya ambilkan tiramisunya,” sambil tersenyum lebar ia membungkuk mengambil si tiramisu penggoda iman dari lemari kaca pendingin.

”Aulia?” pria yang sedari tadi mengantri di sampingku menyebut namaku dengan ragu. Aku tak merasa mengenalnya, jadi aku menoleh perlahan, sambil memikirkan kemungkinan ia sedang memanggil Aulia lain, yaitu Aulia yang mengenalnya. Aku sungguh terlalu berkonsentrasi pada tiramisu sehingga tak memperhatikan betapa tampannya ia.

”Ah, benar, kamu memang Aulia ternyata!” pria berkemeja biru dan berdasi itu berseru penuh kemenangan. Sedetik kemudian ia sadar sedang berada di tengah-tengah kantin kantor pada jam makan siang, dan semua mata tertuju padanya berkat seruannya tadi. Ia salah tingkah.

”Hah?” aku akhirnya merasa familiar dengan wajahnya, namun tak terlintas di benakku satu nama pun. Senyum lebar di wajah si pria perlahan menghilang seiring dengan lamanya waktu yang aku butuhkan untuk mengingat nama orang yang kuduga teman SMA-ku ini.

” Kamu nggak ingat saya?”

”Eh, sebentar, aku ingat kok, aku ingat! Kamu, enggg…” aku semakin gusar menggali daftar nama kenalan-kenalanku masa lalu. Ia tersenyum lebar, dan aku sangat ingat dengan senyuman itu. ”Adi! Bukan, Abi! Abi!” akhirnya dapat! ”Ya ampun Abi! Kamu apa kabar?” kedua tanganku reflek memeluk lehernya, sebuah kebiasaan yang muncul akibat pergaulan. Ia tampak kurang nyaman dengan perlakuanku, jadi aku buru-buru melepasnya. ”Sori sori. Kamu ngapain di sini?” ujarku paham.

”Ah, nggak apa-apa, kok. Panjang kalau saya mesti cerita ngapain saya di sini.” Logat saya-kamu milik Abi sama sekali tak berubah.

”Kita punya waktu, kan? Aku tunggu di meja, ya?” ia mengangguk sambil tersenyum. Kuserahkan uang pada Osa yang menunggu tak sabar setelah meletakkan tiramisu di nampan beberapa saat tadi. ”Sori, Sa, penyakit ketemu teman lama, jadi lupa segalanya, makasih ya!” aku mengedipkan mata Osa dan mengangkat nampan cepat-cepat.

”Sama-sama, Mbak, nasi gorengnya nanti diantar, ya. Silahkan selanjutnya, mau pesan apa, Pak?”

Aku sengaja memilih tempat yang agak jauh dari keramaian. Otakku otomatis sibuk memutar kembali memori yang mengandung Abi di dalamnya. Aku ingat masa-masa awal SMA, Abi adalah teman sekelasku. Wajah tampan, kelakuan seperti dagelan. Itulah yang membuatnya begitu populer terutama di kalangan para hawa. Dan aku bisa berbangga hati karena Abi memilih aku sebagai salah satu hawa yang bisa dekat dengannya. Menemaninya latihan tenis, memberinya teriakan semangat saat turnamen, membawakan taart ulang tahunnya. Abi bahkan pernah memintaku menemaninya datang ke pernikahan saudaranya. Berbunga-bunga rasanya hati ini ketika para kerabat Abi yang kami jumpai mengira bahwa aku adalah pacar Abi. Bunga-bunga itu semakin semerbak saja karena Abi tak mencoba menolak hipotesis mereka.

Namun berkat adanya siklus alam, bunga-bunga yang tadinya merona siap tak siap berubah sendu dimakan musim. Abi pun secara tiba-tiba mendeklarasikan resmi berpacaran dengan Lena, hawa yang kurang populer dari kelas sebelah. Satu kejapan mata dan runtuhlah istana yang dibangun oleh rasa bahagia bisa dekat dengan Abi. Berat, tapi akhirnya aku bisa kembali menata hati ketika berpapasan dengan pasangan Abi-Lena di lorong sekolah dalam hitungan minggu. Hari kelulusan adalah hari terakhir aku bertemu Abi.

Detik ini, Abi ada di depan mataku. Meletakkan nampan makanannya, menarik kursi berhadapan denganku, menaruh tas yang terselempang di bahu kanannya, dan membalas tatapanku yang seakan tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Sekarang aku yang salah tingkah. Satu seruputan capucino untuk menutupi kesalahtingkahanku. Nasi goreng pun segera datang terhidang.

”Wah, lama banget ya kita enggak ketemu?” Abi berinisiatif memulai pembicaraan dengan pertanyaan klasik. Cepat atau lambat pertanyaan ini akan terlontar, entah dari mulut Abi atau dari mulutku yang sedang sibuk mengunyah nasi goreng.

”Lama banget malah. Dari SMA, udah sekitar tujuh tahun kan, ya,”

”Kurang lebih segitu. Sejak kamu kuliah di Jakarta kita udah nggak pernah lagi ketemu.” Sunyi sesaat. Abi menyeruput minumannya. ”Kamu sekarang kerja di sini, Aul?”

”Iya, aku PR di sini. Kamu bukan karyawan sini kan?” Abi menggeleng pelan. ”Hah, aku pasti ngerasa berdosa banget kalo ternyata kamu karyawan di sini, soalnya aku memang nggak pernah liat kamu di perusahaan. Terus, kamu jadi cerita nggak, nih, kok bisa sampe sini?”

Abi mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan, meski sama sekali tak ada gula yang bisa diaduk dalam teh botolannya. Itu kebiasaannya dari SMA.

Satu tarikan nafas panjang, dan akhirnya ia siap bercerita, ”Saya baru nyoba ngelamar kerja di sini. Di job fair beberapa minggu lalu saya masukin lamaran sebagai akuntan, terus tadi pagi dapet jatah wawancara.”

”Oh, gitu. Terus udah ada pengumumannya?”

”Belum, besok dihubungin lagi via telpon katanya,” Abi menyuapkan sendok pertama makanannya ke mulut.

”Wah, semoga berhasil, ya.” Abi hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Otakku langsung melayang jauh, berimajinasi bagaimana jadinya kalau besok Abi bekerja satu perusahaan denganku. Akan banyak kesempatan untuk bisa berdua dengan Abi lagi. Aku membayangkan suatu sore mobilku mogok di tempat parkir, lalu Abi menghampiriku dengan Hyundai Tucson-nya. Ia menawarkan untuk mengantarkan aku pulang, dan aku menerima tawarannya dengan senang hati. Selama perjalanan, kami banyak berbagi cerita tentang masa depan, rumah, resepsi pernikahan, siapa saja yang akan diundang di pernikahan, jumlah anak, sekolah untuk anak. Lalu sampai di depan rumah, ia menerima ajakanku untuk masuk menemui Ayah-Bunda. Mereka pun berbincang akrab layaknya Abi adalah anak mereka sendiri.

”Aulia?” Ayah-Bunda-Abi pun buyar.

”Ya? Kenapa tadi, Bi?”

”Saya tanya, kamu kenapa senyum-senyum sendiri?”

”Emang aku senyum-senyum, ya? Ah, itu, aku cuma inget jaman kita SMA dulu, lucu aja,” Berkelit. Tidak mungkin aku cerita tentang lamunan Ayah-Bunda-Abi.

”Iya, saya juga suka ketawa sendiri kalo buka foto-foto SMA. Saya inget banget foto kamu bawa sedotan di kantin. Waktu istirahat, gak perlu keluar duit buat jajan, bisa kenyang cuma pake modal sedotan, ha ha ha!”

”Kenapa yang diinget cuma yang jelek-jelek, sih? Adegan aku menang olimpiade biologi kamu inget nggak?”

”Ha ha… enggak, tuh, soalnya modal sedotan waktu istirahat tu bener-bener Aulia banget. ’Hei, Abi, itu Fanta, ya? Sini aku nyoba dong kayak apa rasanya! Tenang, aku bawa sedotan sendiri kok!’ Ha ha ha!” Abi menirukan gaya bicaraku waktu SMA. Aku ikut tertawa. Lalu sunyi.

”Om sama Tante apa kabarnya, Bi? Ikut ke Bandung juga?”

”Semua sehat, tapi Bapak udah empat bulanan ini mesti pake kursi roda kemana-mana, kena stroke. Masih pada di Jogja, nggak mungkin bawa Bapak jalan-jalan jauh, apalagi ke sini.”

”Oh, sampein salam buat Om sama Tante, ya. Terus kamu di sini tinggal di mana? Ada saudara?”

”Enggak, saya nginep di hotel kecil, di sekitaran Dago. Saya juga cuma tiga hari di sini, besok malem udah balik lagi ke Jogja.”

”Wah, kebetulan kamu dateng waktu weekend. Besok aku libur, jadi aku bisa temenin kamu kalo mau muter-muter Bandung. Itung-itung refreshing lah, biar kamu gak stres mikirin cari kerja melulu,” Abi tersenyum, ada perasaan sangsi yang aku tangkap dari matanya. Tanpa mempedulikan perasaan sangsi tadi, otakku dengan liarnya kembali berimajinasi tentang betapa menyenangkannya besok. Kami berdua berjalan-jalan melihat matahari terbenam di Tangkuban Perahu. Duduk berdua di sebuah bangku kayu, dan Abi mulai menggenggam tanganku untuk menyalurkan panas tubuhnya, berusaha melindungiku dari dinginnya malam yang menusuk sukma. Betapa dramatisnya.

”Makasih, Aul, saya pikir kamu selamanya benci sama saya gara-gara Lena,” benar-benar dramatis ternyata, buyar sudah Aulia-Abi dan Tangkuban Perahu.

”Hah, kamu ngomong apa, sih? Aku nggak pernah benci sama kamu,”

”Bener? Maaf ya kalo saya dulu nyakitin kamu. Saya pernah denger dari temen-temen, katanya kamu sampe nggak mau makan waktu tau saya jadian sama Lena, tapi saya nggak berani nanya langsung ke kamu,”

”Hahaha! Kamu ditipu sama anak-anak, tuh. Mana mungkin Aulia nolak makan?” Lagi-lagi berkelit. Delapan kilo berat tubuhku hilang dalam tempo satu minggu waktu itu.

”Iya juga sih, saya juga nggak percaya sebenernya. Aulia sama makanan kan kayak ketek sama baunya, nempel terus. Hahaha!” Kami berdua tertawa keras. Pasti orang-orang di sekitar kami iri dengan keintiman yang kami perlihatkan. Dan hari Senin, kabar tentang Aulia yang terlihat berduaan dengan seorang pria tampan seharusnya sudah tersebar ke seluruh penjuru kantor.

Sunyi sesaat. ”Habis ini kamu mau kemana, Bi? Kan urusanmu di kantor dah kelar,” giliranku memecahkan es.

Abi menyelesaikan mengunyah nasi di dalam mulutnya sebelum menjawab pertanyaanku. ”Belom ada rencana sih mau ke mana, yang pasti balik ke hotel dulu habis ini.”

”Wah, pas banget, aku habis ini mau ngecek event di luar, dan kebetulan searah sama Dago, jadi kita bisa barengan,” satu-satunya kata yang berputar-putar di otakku adalah kesempatan. ”Gimana?”

”Enggg, ntar malah ngerepotin kamu, lagi? Soalnya saya nggak langsung ke hotel,” Kening Abi berkerut, ia sedang memikirkan sesuatu.

”Ah, nggak kok, toh aku juga nggak buru-buru, event-nya masih ntar malem sebenernya. Jadi masih ada banyak waktu.” Mulutku tak mau berkompromi dengan kening Abi.

”Kalo beneran nggak ngerepotin… boleh deh,” Abi masih terlihat ragu.

”Santai aja kali, Bi. Ya udah, selesain dulu makannya,” kami pun berkonsentrasi pada piring makan masing-masing. Aku berpaling pada tiramisu seusai menelan nasi goreng terakhir. Abi terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. Maka aku pun tak mau kalah, ikut-ikutan menyibukkan diri dengan pikiran.

Aku bisa melihat dengan jelas ke dalam lamunanku, bagaimana sebentar lagi Abi akan berada semobil denganku. Hanya ada kami berdua. Dalam lamunan itu, teman-teman sekantor melihat adegan masuknya Abi ke dalam mobilku dari kejauhan. Mereka pun mengagumi ketampanan Abi, dan semakin kagum lagi ketika melihat siapa wanita yang bersama Abi. Semua orang membicarakan tentang Aulia dan pria tampannya. Aku pun akan kewalahan berbagi cerita pada mereka yang memberondongku dengan pertanyaan seputar hubunganku dengan si pria misterius. Tiba-tiba saja, tiramisu blueberry ini terasa lebih manis daripada biasanya.

Abi masuk dan menutup pintu mobil. Dari jendela dan kaca spion, aku berusaha mencari-cari orang yang kukenal. Siapa pun itu. Yang penting bisa menjadi saksi dan narasumber adegan terhebat sepanjang akhir minggu: Aulia pergi bersama seorang pria tampan. Tapi tampaknya hanya ada Dodo si cleaning service yang terlihat di pintu keluar. Entah ia memperhatikan kami atau tidak. Ya sudahlah.

Sepanjang perjalanan menuju Dago kami lebih banyak diam. Lagu-lagu Mr. Big mengalun keras dari player, mengiringi konsentrasiku mengendalikan kemudi, menemani Abi yang sedari tadi menatap gusar pemandangan di luar. Otakku memang tidak boleh dihadapkan dengan kesunyian, karena ia akan dengan liar bepergian kemana-mana. Sekarang ia menghadirkan pikiran bagaimana nanti ketika kami sampai di depan hotel Abi. Sebelum turun dari mobil, Abi meminta nomor teleponku. Aku pun memberikannya dengan senang hati. Lalu Abi bertanya, ”Nanti malam kamu ada acara?”

Melupakan event perusahaan, aku menggeleng, ”Enggak, emang kenapa?”

”Kamu mau nggak nemenin saya makan malem? Saya pengen ngulangin masa-masa kita jalan berdua dulu,” Abi berkata lembut sambil tersenyum.

”Iya, aku mau,” aku membalas senyumannya.

”Oke, sampai ketemu nanti jam tujuh,” Abi keluar dari mobil setelah menyarangkan sebuah kecupan manis di pipiku. Aku bisa merasakan wajahku memerah. Panas. Malu.

”Aulia,” Abi mengembalikanku ke dunia nyata.

”Ya? Kenapa, Bi?” semoga Abi tidak melihat wajahku yang memerah.

”Em, saya turun di Ciwalk aja, deh.”

”Lho, kenapa, Bi? Kamu mau belanja dulu? Nggak apa-apa, aku temenin aja, aku kan nggak buru-buru.” Abi lagi-lagi terlihat ragu. Tidak, itu bukan ragu. Yang tersirat di wajahnya lebih ke arah bersalah. Tapi untuk apa?

”Udah, kamu tinggalin saya aja di Ciwalk, eng, daripada kamu kelamaan nunggu, malah saya yang nggak enak,”

”Kan aku dah bilang, santai aja kali, Bi. Kamu mau belanja dulu, ayo aja, jarang-jarang kan kita ketemu,” Abi tidak memberi jawaban. Ia hanya terlihat gelisah. ”Abi? Kamu kenapa, sih?”

”Eh, nggak apa-apa kok. Tapi saya takut ngerepotin kamu,”

”Nggak, lah. Cuma belanja di Ciwalk, apa repotnya?”

”Eng, sebenernya bukan belanja, sih, tapi jemput,”

”Jemput?” aku menatap Abi curiga. ”Jemput siapa di Ciwalk?”

Satu tarikan nafas panjang sebelum Abi bercerita dengan cepat, ”Saya datang ke sini sekeluarga, pada pengen liat Bandung soalnya. Terus tadi pagi sebelum ke kantormu, saya ngedrop istri sama anak-anak saya di Ciwalk, jadi sekarang saya mesti jemput mereka buat balik ke hotel.”

Ciiiit… mobil direm mendadak.

***

Read Full Post »

Dia Hilang Kendali

Dia Hilang Kendali

Ombak berlarian memukul pantai. Entah apa salah pantai sampai ia harus menerima pukulan keras itu setiap waktu. Suara berisik si ombak memenuhi ruang tanpa batas yang terhampar di hadapanku. Tak mau kalah dengan ombak, angin pun berlari kencang-kencang, mengibarkan rambutku yang panjang menutup punggung. Terasa sangat melenakan ketika belaian lembabnya menyapu wajahku. Aku menutup mata menikmati udara bergerak di sekitarku, aroma laut terbawa olehnya. Di atas sana, matahari siang masih tak henti berkontradikasi dengan si angin. Sengatannya tajam menusuk kulit. Seakan matahari memperoleh kebahagiaan tersendiri jika ia berhasil memanggang makhluk-makhluk kecil yang berseliweran di hadapannya.

 Namun pepohonan memihak angin. Diberikannya keteduhan sebagai tempat berlindung dari kekejaman matahari. Dalam perlindungan bayang-bayang pepohonan itulah aku berada. Duduk di atas gelondong pohon kelapa yang roboh diterpa badai musim lalu. Dengan kaki terbenam di pasir hitam yang hangat, kuhabiskan siang bersama teman-temanku: pepohonan dan angin yang baik hati, matahari yang masih antagonis, dan ombak yang cerewet.

Tak banyak orang berlalu-lalang di pantai. Pasti mereka lebih memilih berada di bawah naungan atap rumah ketimbang menjadi korban matahari. Perahu-perahu nelayan berbaris rapi di pinggiran. Jika mereka manusia, mereka pasti terlihat seperti turis asing: tak bergerak berjemur matahari. Bendera warna-warni yang terikat di tiang-tiang perahu pun menari-nari digelitiki angin. Angin juga memiliki sifat nakal.

Bersama segala hal yang sedang dinikmati kelima inderaku saat ini, muncullah pengganggu. Sayup-sayup kudengar suara seorang wanita meratap dalam nada tinggi. Sudah tentu ia sedang bermonolog karena tak terdengar suara lain yang mengiringi suaranya. Datangnya dari  arah belakang, tak jauh dari tempatku duduk. Dari rumah Mas Abas, suamiku. Dan si empunya mulut yang sedang berkoar itu adalah Mbah Ti, adik nenekku.

“Ya Tuhan! Ambillah nyawa hamba sekarang juga! Hamba sudah tidak kuat lagi hidup! Tak ada yang menerima kehadiran hamba di dunia ini! Semua orang ingin hamba mati, Tuhan! Ambillah hamba!” begitu kira-kira bunyi ratapannya. Diulang-ulang, namun ada sedikit modifikasi di setiap pengulangannya seperti “Cucu hamba ingin membunuh hamba!”, “Hamba tidak diperbolehkan makan!”, “Maryati, kenapa kamu dulu melahirkan anak sial!” atau “Lastri kamu cucu laknat!”, dan berbagai sumpah serapah lainnya. Kata-kata yang tidak seharusnya didengar pun keluar dari mulut tua Mbah Ti, termasuk berbagai nama binatang, semua ditujukan padaku.

Mbah Ti sudah beberapa tahun terakhir hidup di rumah kami. Kami tak tega melihat ia hidup sebatang kara di usia senjanya, semenjak ditinggal mati suaminya dan ditinggal pergi anaknya. Hanya Mbah Ti saudara yang masih aku miliki.

Namun Mbah Ti yang sekarang tak seperti yang kukenal dulu. Ia sangat pemarah. Jika sedang seorang diri, Mbah Ti mengomel meratapi hidupnya. Seringkali ia salah mengartikan tindakanku, kemudian meneriakiku dan mengeluarkan segala sumpah serapah. Tanpa sebab, ia bisa meledak seperti gunung api sampai beberapa kali pergi dari rumah. Ia berdoa pada Tuhan, namun bukan untuk hal-hal yang baik. Kebanyakan mendoakan aku mati dimakan laut atau dia sendiri yang mati terbentur karang. Sungguh ia tak seperti Mbah Ti yang kukenal. Ia lebih seperti Mbah Ti yang kesurupan.

Mas Abas selalu menyuruhku bersabar. Kemarahan Mbah Ti tak lebih dari kondisi fisik renta yang tiada lagi mampu mengontrol kerja saraf-sarafnya. Tentu saja ia bisa menasehati begitu karena bukan dia yang setiap hari berhadapan dengan Mbah Ti. Mas Abas lebih sering berada di laut, berteman dengan suara ombak. Tak seperti aku yang selalu berada di rumah, bergulat dengan suara Mbah Ti.

Kali ini terdengar Mbah Ti bertepuk tangan kencang-kencang. Aku menoleh ke belakang. Kulihat Mbah Ti berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. Ekspresi wajahnya menakutkan, seperti topeng leak Bali yang kulihat di tv tetangga. Matanya melotot, gigi-gigi keroposnya gemeletuk ia pamerkan. Urat-urat di bawah kulit wajahnya bermunculan dengan tegas. Seakan ada yang menarik kulitnya ke belakang. Mbah Ti sedang sangat marah.

“Lastri! Aku tahu kau tidak pernah suka aku di sini!” ia berteriak padaku sambil menunjuk-nunjuk. “Kalau kau memang mau membunuhku, lakukanlah! Lakukan Lastri! Cepat bunuh saja aku, tak perlu kau berlama-lama menyiksaku seperti ini!”

Sumpah, aku sungguh tak mengerti apa maksudnya. Setengah hati aku beranjak dari surga kecil tempatku duduk, melayani kemarahan Mbah Ti.

“Astaghfirullah, Lastri tidak tahu yang Mbah bicarakan.”

“Sudah! Kau tak perlu lagi beralasan macam-macam. Bilang saja kau tak suka padaku, Lastri!” teriaknya sambil masuk ke rumah. Aku mengikutinya dari belakang.

“Istighfar, Mbah, istighfar.”

“Halah! Aku tak butuh istighfar! Itu urusanku dengan Tuhan! Ini urusanku denganmu!”

“Astaghfirullah, Mbah,” hatiku sangat terpukul mendengar ucapan Mbah Ti. Sungguh, terkadang aku berpikir ada setan jahat yang mengambil alih raganya.

“Lihat ini!” Mbah Ti menunjuk meja makan. “Kau pasti ingin membunuhku dengan makanan ini!”

“Membunuh bagaimana, Mbah? Itu hanya sayur bayam dan ikan goreng biasa. Mbah tadi lihat sendiri Lastri juga memakannya dan Lastri baik-baik saja.”

“Kau pikir aku bodoh? Kau tahu sejak kecil aku tak pernah suka bayam, aku tak pernah makan bayam!” Itu tidak benar. Satu-satunya sayur yang Mbah Ti tidak suka adalah sayur basi. “Dan ikan goreng, kau berharap aku memakannya lalu mati kehabisan napas tersedak durinya, bukan?”

Praaang! Mbah Ti melemparkan piring kaleng berisi tiga ekor ikan goreng ke lantai semen.

“Mbah! Mbah ini apa-apaan!”

“Aku tahu Lastri, sesungguhnya kamu tak ingin aku bisa makan, bukan? Jangan siksa aku seperti ini, bunuh saja aku cepat!” teriaknya sambil mengangkat tangan ke atas, seakan berdoa.

“Mbah, itu tidak benar. Kemarin hari Lastri juga memasak makanan yang sama dan Mbah tak pernah protes.”

“Tak mungkin! Kalau kau memberiku makanan seperti ini pasti aku sudah mati sejak dulu-dulu!”

“Mbah, Lastri tak pernah berpikiran untuk melakukan hal-hal seperti itu!”

“Aku tak mau dengar omong kosongmu Lastri!” seperti anak kecil, ia menutup kedua telinganya dengan tangan dan beranjak ke kamar tidurnya sambil mengulang-ulang kalimatnya. “Aku-tak-mau-dengar!”

Aku hanya bterdiam di ruang makan sambil menatap ikan goreng yang berserakan bercampur pasir di lantai. Aku pun bersimpuh mengumpulkannya kembali. Mbah Ti masih melanjutkan marahnya di kamar. Bermonolog. Dan karena pintu kamar di rumah ini hanya ditutupi oleh kain, aku bisa mendengar semua ucapan Mbah Ti.

“Aku memang bukan nenekmu! Maka dari itu kamu tak pernah mau menerimaku! Cucu busuk tak tahu diuntung! Kau pikir siapa yang dulu mau membiayai sekolahmu kalau bukan aku, ha?” Aku mendengarnya. Aku menepuk-nepuk ikan goreng agar pasir mau angkat kaki dari badannya.

“Oh, sekolah tinggi mungkin dia, orang pintar, terpelajar, tak mau menganggap orang renta ini sebagai saudara. Jijik melihatku! Semua harus tunduk pada aturannya, Gusti Tuan Putri Lastri! Hahaha!” Aku juga mendengarnya. Aku meniupi ikan goreng dari pasir jahil yang tak mau pergi.

“Ya begitu, anak yang lahir tanpa jelas siapa bapaknya! Sama saja dengan ibunya yang tidak tahu adat! Salahmu sendiri Maryati, kau terlalu murah jadi perempuan!” Aku pun mendengar yang ini. Aku berdiri, kuletakkan piring ikan goreng di atas meja. Kuhampiri kamar Mbah Ti.

“Kenalkan, saya Lastri, saya anak haram dari ibu Maryati. Kau tahu ibu Maryati? Dia bisa kau temui di losmen Kembang.” Aku semakin jelas mendengarnya. Aku berdiri di belakang Mbah Ti yang duduk di tepi tempat tidur sambil menghadap jendela.

“Mungkin kau tak perlu membayarnya, cukup panggil saja dia ‘Maryati Sayang’, dia pasti segera menerkammu.” Aku sangat mendengarnya. Kutarik Mbah Ti hingga ia terlentang di tempat tidur. Tubuh rentanya tak mampu melawan energi membaraku. Kemudian kuraih bantal lapuk yang ada di dekat kepalanya.

Aroma ikan goreng menyebar sedap ke seluruh penjuru rumah dibawa oleh angin, temanku. Aku menutup mata menikmatinya. Keheningan yang diisi oleh gemericik minyak panas di atas wajan, desiran ombak di luar sana, serta hembusan angin yang menyusup dari celah-celah tembok anyaman bambu. Rasanya baru sekarang aku memperoleh kedamaian ini di dalam rumah.

“Assalamualaikum!” Mas Abas pulang.

“Waalaikumsalam!”

“Hmm… sedap sekali kucium bau masakanmu, Lastri,” kepala Abas muncul di ambang pintu dapur.

“Iyalah, Mas. Lastri masak ikan ini khusus untuk Mas Abas yang sudah empat hari tak pulang.”

“Haha, terdengar seperti kau sedang menyindirku. Rasanya sepi, Mbah Ti di mana?” Mas Abas celingukan mencari-cari orang yang dimaksud.

“Di kamar.” Mas Abas beranjak ke kamar Mbah Ti.

“Oh iya, nyenyak sekali tidurnya tampaknya.”

Read Full Post »